JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) semakin serius memperkuat sektor baja nasional.
Langkah ini tidak hanya difokuskan untuk melindungi pasar dalam negeri, tetapi juga mendorong lahirnya investasi baru di industri baja yang menjadi tulang punggung pembangunan nasional.
Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menegaskan, strategi penguatan industri baja menjadi prioritas agar kebutuhan domestik tidak terus bergantung pada impor. Saat ini, sekitar 55 persen kebutuhan baja nasional masih dipenuhi dari luar negeri, terutama dari China.
“Industri baja nasional perlu memperkuat perlindungan dan standar, khususnya untuk produk hilir, mendorong investasi di hulu, serta mengembangkan baja ramah lingkungan,” ujarnya.
Langkah Kemenperin ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah menata kembali struktur industri logam di Tanah Air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga 2021 terdapat 562 perusahaan logam dasar (KBLI 24) dan 1.592 perusahaan barang logam, bukan mesin dan peralatannya (KBLI 25). Angka ini menunjukkan besarnya potensi industri baja untuk tumbuh lebih kuat dan mandiri.
Ketimpangan Produksi dan Konsumsi Baja Nasional
Meski kapasitas industri baja nasional terus meningkat, produksi dalam negeri belum mampu mengimbangi konsumsi. Menurut Faisol, terdapat kesenjangan besar antara produksi dan kebutuhan baja nasional yang selama ini diisi oleh impor.
Indonesia sendiri menempati peringkat ke-14 dunia dalam produksi baja tahun 2024, dengan capaian 18 juta ton, naik 110 persen dibandingkan 2019. Namun, peningkatan tersebut belum cukup untuk menutupi kebutuhan dalam negeri yang terus tumbuh.
Di sisi lain, produksi baja kasar dunia pada 2024 mencapai 1,884 miliar ton, dengan China menjadi produsen terbesar—menyumbang 1,005 miliar ton atau 53,3 persen dari total produksi dunia. Disusul India dengan 149,4 juta ton atau 7,9 persen produksi global.
Kondisi ini mencerminkan masih tingginya dominasi produsen besar dunia di pasar baja global, termasuk di Indonesia.
Utilisasi Rendah dan Fokus Pasar Terbatas
Salah satu tantangan besar yang dihadapi industri baja nasional adalah tingkat utilisasi yang baru sekitar 50 persen. Banyak perusahaan baja yang akhirnya tidak beroperasi penuh karena produknya tidak terserap pasar.
Sebagian besar produsen baja di Indonesia masih berorientasi pada sektor konstruksi dan infrastruktur yang menjadi pasar utama. Situasi ini membuat pengembangan produk baja untuk sektor lain yang bernilai tambah tinggi, seperti otomotif, perkapalan, dan alat berat, masih sangat terbatas.
“Hal tersebut menyebabkan pengembangan produk baja untuk sektor lain yang bernilai tambah tinggi masih relatif terbatas,” ungkap Faisol.
Padahal, sektor-sektor tersebut membutuhkan baja dengan spesifikasi khusus seperti baja paduan (alloy steel) dan baja khusus (special steel) yang memiliki potensi pasar besar, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Kebijakan Perlindungan dan Penguatan Investasi
Untuk memperkuat daya saing industri baja nasional, Kemenperin telah menerapkan sejumlah instrumen kebijakan yang diarahkan pada peningkatan produksi, penyerapan pasar dalam negeri, serta perlindungan dari praktik perdagangan tidak sehat.
Salah satu kebijakan penting adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib serta pengaturan larangan dan/atau pembatasan (lartas) terhadap produk baja impor.
“Pemerintah telah menerapkan 29 SNI wajib untuk produk logam, 23 di antaranya untuk baja, dan enam untuk produk nonbaja,” jelas Faisol.
Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas produk baja dalam negeri sekaligus memperkuat kepercayaan industri hilir untuk menggunakan baja lokal.
Selain itu, Kemenperin juga tengah mengimplementasikan smart regulation untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan inovatif. Melalui pendekatan ini, rantai pasok industri baja diupayakan agar semakin terintegrasi dan berdaya saing tinggi.
Antisipasi Dumping dan Praktik Perdagangan Tidak Sehat
Sebagai bagian dari perlindungan pasar domestik, pemerintah juga memperketat pengawasan terhadap praktik perdagangan tidak sehat atau unfair trade.
Salah satunya melalui penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) yang dikenakan terhadap produk baja dari beberapa negara produsen utama. Kebijakan ini bertujuan melindungi industri baja nasional dari praktik dumping, yakni penjualan barang impor dengan harga lebih rendah dari harga pasar domestik di negara asalnya.
Produk-produk baja yang dikenakan BMAD antara lain slab, billet, dan hot rolled coil (HRC) asal China, India, Thailand, Taiwan, Rusia, Belarusia, dan Kazakhstan.
Dengan langkah ini, Kemenperin berharap pelaku industri dalam negeri memiliki ruang tumbuh yang lebih sehat tanpa tertekan oleh serbuan baja impor murah.
Menuju Industri Baja Mandiri dan Ramah Lingkungan
Penguatan sektor baja nasional bukan hanya soal peningkatan kapasitas produksi, tetapi juga menyangkut transformasi menuju industri baja hijau dan berkelanjutan.
Faisol menegaskan, investasi baru yang akan ditarik ke sektor baja diarahkan pada pengembangan teknologi ramah lingkungan serta efisiensi energi, sejalan dengan tren global menuju ekonomi hijau.
Langkah Kemenperin memperkuat industri baja diharapkan dapat menekan ketergantungan impor, membuka peluang investasi baru, dan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, industri baja Indonesia berpotensi menjadi pemain kuat di kawasan dan bagian penting dalam rantai pasok global.