ESDM

ESDM Pertimbangkan Pengurangan Produksi Nikel Nasional Tahun Depan

ESDM Pertimbangkan Pengurangan Produksi Nikel Nasional Tahun Depan
ESDM Pertimbangkan Pengurangan Produksi Nikel Nasional Tahun Depan

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah meninjau ulang arah kebijakan produksi nikel nasional untuk tahun 2026.

Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam menjaga keseimbangan pasokan nikel di tengah kondisi oversupply baik di pasar global maupun domestik. Pemerintah juga menyelaraskan kebijakan tersebut dengan keputusan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang memperketat izin investasi dan Izin Usaha Industri (IUI) bagi smelter nikel baru.

Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, kebijakan pembatasan smelter baru akan berdampak langsung pada penyesuaian target produksi nikel tahun depan. Ia menyebut, produksi nikel dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026 kemungkinan besar akan diturunkan dibandingkan dengan target tahun ini yang mencapai 319 juta ton.

“Kalau moratorium untuk itu, karena kita oversupply untuk itu, ya kita dukung lah kalau itu,” ujar Tri.

“Pokoknya yang lebih-lebih tinggi kita evaluasi lah. Kan over 300.000-an ton, bisa jadi [di bawah 300.000 ton],” tegasnya.

Penyesuaian Produksi dan Dukungan terhadap Kebijakan Smelter

Kementerian ESDM menilai langkah Kemenperin memperketat penerbitan izin smelter nikel baru sejalan dengan prinsip pengelolaan sumber daya mineral yang berkelanjutan. Tri menjelaskan bahwa ESDM hanya mengatur smelter nikel yang terintegrasi dengan pertambangan, sedangkan smelter berdiri sendiri atau standalone merupakan kewenangan Kemenperin.

Ia menegaskan pihaknya akan melakukan pembahasan lebih lanjut untuk mengatur pasokan nikel ke pasar domestik agar tetap seimbang setelah adanya kebijakan baru tersebut. “Nanti kita akan lakukan pembahasan kalau misalnya seperti apa. Akan tetapi, poinnya adalah untuk yang di UU Minerba itu untuk menyiapkan untuk produk ini [produk yang diolah smelter]. Makin hilir kita pasti akan dukung,” jelas Tri.

Tri memperkirakan jumlah smelter nikel yang benar-benar terintegrasi dengan tambang di bawah pengawasan ESDM tidak banyak, hanya sekitar tujuh perusahaan. “Kalau enggak salah cuma tujuh, itu pun yang beberapa kan enggak jalan. Kalau dari kita terbatas yang terintegrasinya,” ujarnya.

Kinerja Produksi Nikel dan Dinamika Pasar Global

Tri Winarno juga mengungkapkan bahwa target produksi bijih nikel tahun ini dipatok sebesar 220 juta ton, turun dari target tahun lalu yang mencapai 240 juta ton. Penyesuaian ini dilakukan karena kondisi ekspor dan kebutuhan industri dalam negeri mengalami perlambatan akibat tingginya suplai global.

Ia menegaskan bahwa target produksi yang ditetapkan pemerintah berbeda dengan kuota RKAB yang diajukan perusahaan tambang. Kuota RKAB, katanya, biasanya lebih besar dari target resmi pemerintah karena mempertimbangkan kapasitas operasional perusahaan.

Sementara itu, data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menunjukkan total proyek smelter nikel di Indonesia saat ini mencapai 147 proyek, dengan total kebutuhan bijih sekitar 735,2 juta ton. APNI juga mencatat bahwa RKAB nikel yang disetujui untuk tahun 2025 naik menjadi 364 juta ton, dari 319 juta ton pada tahun sebelumnya.

Kondisi kelebihan pasokan ini, menurut pemerintah, menjadi alasan kuat untuk meninjau kembali volume produksi dan arah investasi di sektor hilirisasi nikel.

Kebijakan Kemenperin dan Arah Hilirisasi Industri

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan komitmennya dalam memperkuat hilirisasi dengan memperketat izin pembangunan smelter baru. Kebijakan ini mencakup pelarangan bagi pengusaha untuk membangun smelter standalone yang hanya memproduksi produk antara seperti nickel matte, feronikel (FeNi), mixed hydroxide precipitate (MHP), dan nickel pig iron (NPI).

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Setia Diarta, menjelaskan bahwa fokus hilirisasi kini diarahkan pada pengolahan produk nikel yang lebih bernilai tambah. “Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025–2035 bukan lagi pada nikel kelas dua,” ujar Setia.

Ia menambahkan bahwa pemerintah masih memberikan kelonggaran bagi smelter yang sudah dalam tahap konstruksi untuk melanjutkan operasinya, selama proyek tersebut sudah menunjukkan komitmen investasi dan progres pembangunan.

Regulasi Baru Perizinan dan Penegasan Pemerintah

Setia menjelaskan, kebijakan baru tersebut juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang telah diteken Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025.

Dalam aturan itu, setiap pengajuan izin pembangunan smelter baru wajib menyertakan surat pernyataan bahwa perusahaan tidak akan memproduksi produk nikel kelas dua seperti NPI, FeNi, dan nickel matte, terutama bagi smelter berbasis pirometalurgi.

Kemenperin juga telah meminta Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) untuk mengirimkan daftar lengkap smelter yang sedang dalam tahap konstruksi. Daftar tersebut nantinya akan diteruskan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian guna memastikan pengawasan dan koordinasi lintas kementerian berjalan efektif.

Kapasitas Smelter Nasional dan Prospek Hilirisasi

Berdasarkan data Kemenperin hingga Maret 2024, Indonesia memiliki 44 smelter nikel pemegang IUI yang telah beroperasi di bawah binaan Ditjen ILMATE, dengan kapasitas produksi mencapai 6,25 juta ton per tahun. Sebagian besar berlokasi di Maluku Utara, yang menjadi salah satu pusat industri nikel nasional.

Selain itu, terdapat 19 smelter nikel yang masih dalam tahap konstruksi serta 7 proyek yang masih menjalani studi kelayakan atau feasibility study. Dengan demikian, total proyek smelter nikel pemegang IUI di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.

Pemerintah berharap kebijakan pembatasan izin baru dapat memperkuat arah hilirisasi nikel ke produk bernilai tambah tinggi seperti nickel sulphate, nickel chloride, dan nickel electrolytic, yang menjadi bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik dan teknologi energi bersih masa depan.

Langkah pengetatan kebijakan smelter dan penyesuaian produksi nikel menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga keberlanjutan sektor pertambangan. Selain menyeimbangkan suplai dan permintaan, kebijakan ini juga diharapkan mampu mempercepat transformasi hilirisasi industri nikel Indonesia menuju produk berdaya saing tinggi di pasar global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index