UU Non-KUHP

Pemerintah Usulkan Penghapusan Pidana Minimal di UU Non-KUHP Baru

Pemerintah Usulkan Penghapusan Pidana Minimal di UU Non-KUHP Baru
Pemerintah Usulkan Penghapusan Pidana Minimal di UU Non-KUHP Baru

JAKARTA - Pemerintah Indonesia mengusulkan penghapusan seluruh ketentuan pidana minimal khusus dalam undang-undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Usulan ini disampaikan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej saat memaparkan poin-poin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana yang tengah dibahas bersama Komisi III DPR RI, Rabu, 26 November 2025.

“Bapak-Ibu, terkait Undang-Undang di luar KUHP yang terdapat dalam bab 1, yaitu terkait pidana minimum khusus, ini dihapus. Kecuali untuk tindak pidana HAM berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang, dan korupsi,” ujar Edward.

Contoh Pidana Minimal yang Dihapus

Eddy memberi contoh ketentuan pidana minimum yang dihapus, termasuk Pasal 111 UU Narkotika yang sebelumnya menetapkan ancaman pidana minimal 4 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara.

“Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara, dan seterusnya, itu pidana minimumnya paling singkat 4 tahun, maksimumnya 12 tahun. Namun, dalam usulan kami, pidana minimumnya dihapus,” jelas Eddy.

Langkah ini dinilai penting untuk mengurangi kelebihan kapasitas (overcrowding) di lembaga pemasyarakatan (lapas), yang sebagian besar diisi oleh kasus narkotika. Eddy menyoroti bahwa banyak narapidana yang hanya membawa barang bukti sangat sedikit, misalnya 0,2 gram atau 0,3 gram, namun harus mendekam selama empat tahun karena ancaman pidana minimal. Dengan penghapusan pidana minimal, hakim memiliki kebebasan lebih untuk menentukan hukuman sesuai pertimbangan kasus.

Alternatif Hukuman Penjara dan Denda

Selain penghapusan pidana minimal, pemerintah juga mengusulkan agar ketentuan pidana dalam UU di luar KUHP yang memuat penjara dan denda bersifat alternatif, bukan kumulatif. Semua frasa yang sebelumnya berbunyi “penjara dan denda” diubah menjadi “penjara dan/atau denda,” memberi ruang bagi hakim untuk menyesuaikan putusan dengan konteks kasus.

Eddy mencontohkan Pasal 41 Ayat 2 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang memuat ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda Rp 25 juta. Dalam usulan pemerintah, ketentuan ini akan diubah sehingga hukuman bisa berupa denda sesuai kategori KUHP baru, tanpa harus dijalankan bersamaan dengan pidana penjara.

Konversi Pidana Kurungan menjadi Denda

Eddy menambahkan bahwa KUHP baru tidak lagi mengenal pidana kurungan. Oleh karena itu, ribuan peraturan daerah (Perda) yang masih memuat pidana kurungan akan disesuaikan menjadi pidana denda.

“Jika perda itu memuat pidana kurungan tunggal, maka dikonversi menjadi denda. Kalau pelakunya orang perseorangan, maka paling banyak kategori kedua, sekitar Rp 10 juta. Jika korporasi, paling banyak kategori kelima, yaitu sekitar Rp 500 juta,” jelas Eddy.

Ketentuan pidana denda di KUHP baru telah dibakukan ke dalam delapan kategori. Kategori pertama maksimal Rp 1 juta, kedua Rp 10 juta, ketiga Rp 50 juta, keempat Rp 200 juta, kelima Rp 500 juta, keenam Rp 2 miliar, ketujuh Rp 5 miliar, dan kedelapan Rp 50 miliar. Dengan adanya kategori baku ini, konversi pidana kurungan menjadi denda akan mengikuti pedoman KUHP baru sehingga konsisten di seluruh peraturan perundang-undangan.

Tujuan Reformasi Pidana Minimal

Penghapusan pidana minimal bertujuan untuk menciptakan sistem pemidanaan yang lebih adil, fleksibel, dan proporsional. Hakim memiliki kewenangan lebih besar untuk menilai tingkat kesalahan dan menetapkan hukuman yang sesuai, terutama untuk kasus yang pelakunya membawa barang bukti kecil atau kasus non-kriminal berat.

Selain itu, reformasi ini diharapkan dapat menekan jumlah narapidana di lapas, mencegah overcapacity, dan mengurangi beban biaya operasional penjara. Dengan langkah ini, pemerintah menekankan bahwa tujuan utama pidana bukan semata-mata menghukum, tetapi juga memberikan efek rehabilitatif, keadilan, dan perlindungan bagi masyarakat.

Pengaturan untuk Tindak Pidana Berat

Eddy menekankan bahwa penghapusan pidana minimal tidak berlaku untuk tindak pidana berat, seperti pelanggaran HAM berat, terorisme, pencucian uang, dan korupsi. Untuk kasus-kasus tersebut, pidana minimal tetap berlaku sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan serius.

Dengan demikian, perubahan ini lebih bersifat selektif dan bertujuan untuk menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan bagi pelaku, dan efektivitas sistem peradilan pidana.

Usulan pemerintah untuk menghapus ancaman pidana minimal dalam UU di luar KUHP baru menjadi langkah penting dalam reformasi pidana Indonesia. Selain memberi fleksibilitas kepada hakim, langkah ini juga diharapkan menurunkan overcapacity di lapas dan menyelaraskan seluruh peraturan daerah dengan KUHP baru. 

Sistem pidana yang lebih proporsional dan adil diyakini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum sekaligus memperkuat perlindungan hak-hak warga negara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index