Depresi Lansia

Mengenal Depresi Lansia dari Tanda hingga Pencegahannya Menurut Pakar

Mengenal Depresi Lansia dari Tanda hingga Pencegahannya Menurut Pakar
Mengenal Depresi Lansia dari Tanda hingga Pencegahannya Menurut Pakar

JAKARTA - Ketika seseorang memasuki usia lanjut, perubahan fisik dan emosional sering kali terjadi bersamaan. 

Kondisi ini membuat lansia rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan, termasuk depresi. Meski kerap dianggap sebagai bagian wajar dari proses menua, depresi pada lansia sebenarnya merupakan kondisi serius yang perlu mendapat perhatian khusus. 

Perubahan aktivitas, penurunan mobilitas, hingga munculnya penyakit kronis dapat memperburuk kondisi mental mereka. Karena itu, memahami gejala dan faktor pemicunya menjadi langkah penting untuk membantu lansia tetap sehat secara fisik maupun emosional.

Depresi pada lansia bukan sekadar rasa sedih sesaat. Gangguan ini dapat memengaruhi kemampuan mereka menjalani aktivitas harian dan mengurangi kualitas hidup secara signifikan. 

“Depresi itu adalah perasaan sedih yang berlangsung, biasanya lebih dari dua minggu, tapi sedihnya itu bukan sedih biasa aja, sedihnya itu beda. Sedihnya bisa sampai mengganggu aktivitas sehari-hari,” jelas Nurul Hikmah Maulida, MPSi., Psikolog, dalam acara Rumah Rasa di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. 

Rumah Rasa (Rumah Berbagi Sesama Lansia) sendiri merupakan inovasi dari Lentera, program layanan terapi hipertensi dan depresi pada lansia yang dijalankan Puskesmas Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Mengapa Lansia Rentan Mengalami Depresi

Banyak faktor dapat memengaruhi kerentanan lansia terhadap depresi, termasuk penurunan mobilitas dan perubahan kondisi kesehatan. Seiring bertambahnya usia, para lansia yang sebelumnya aktif bekerja sering kali harus berhenti dari rutinitas tersebut karena memasuki masa pensiun. 

Transisi ini dapat memunculkan rasa kehilangan peran atau tujuan. Selain itu, anak-anak yang telah tumbuh dewasa dan tidak lagi tinggal serumah juga menjadi pemicu munculnya perasaan sepi. Beberapa lansia bahkan benar-benar hidup sendiri di rumah, sehingga kondisi emosional mereka menjadi lebih mudah terganggu.

Nurul menambahkan bahwa penyakit fisik — terutama hipertensi atau tekanan darah tinggi — turut meningkatkan risiko depresi. Obat yang harus dikonsumsi secara rutin, aturan pola makan yang ketat, hingga pembatasan konsumsi makanan favorit dapat membuat lansia merasa terbebani. 

“Ada saatnya juga enggak makan, yang lain masih bisa makan yang gurih-gurih, sekarang udah enggak bisa. Jadi benar-benar perlu dikontrol, jadi rasanya itu enggak enak,” ujarnya. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri meskipun pembatasan tersebut dilakukan demi menjaga kesehatan.

Tanda Depresi pada Lansia

Depresi pada lansia tidak selalu ditandai dengan menangis atau tampak murung. Perubahan perilaku halus justru sering menjadi tanda awal yang paling jelas. Selain rasa sedih berkepanjangan, lansia juga bisa kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati. “Yang dulunya sering aktif bersosialisasi, misalkan, sekarang jadi malas, pengennya di rumah aja,” tutur Nurul.

Gangguan tidur termasuk salah satu tanda yang sering muncul, baik berupa tidur yang tidak nyenyak maupun tidur berlebihan. Depresi juga dapat terlihat dari penurunan atau peningkatan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, serta rasa lelah berkepanjangan. Pada tingkat yang lebih berat, muncul pula pikiran untuk mengakhiri hidup atau keinginan untuk “pergi saja” karena merasa lelah menjalani aktivitas sehari-hari.

Menggambar sebagai Bentuk Pencegahan

Untuk membantu menjaga kesehatan mental lansia, terdapat beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah terapi seni melalui aktivitas menggambar. Menurut Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, terapi seni dapat membantu lansia mengekspresikan emosi negatif dan merefleksikan diri. Kegiatan ini tidak hanya memberikan ketenangan, tetapi juga mampu mengurangi kecemasan, perasaan tertekan, dan gejala depresi.

Pentingnya Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik juga berperan besar dalam mencegah depresi. Nurul menyarankan agar lansia melakukan olahraga ringan seperti berjalan kaki. “Supaya nanti kita tetap bisa sehat dan tidak mengalami depresi, olahraga, minimal 30 menit,” ucapnya. Aktivitas fisik membantu meningkatkan hormon endorfin yang berfungsi memperbaiki suasana hati, sekaligus menjaga kebugaran tubuh.

Istirahat yang Cukup

Seiring bertambahnya usia, kebutuhan istirahat juga meningkat. Lansia dianjurkan mendapatkan tidur tujuh hingga delapan jam per hari untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. “Istirahat yang cukup, tujuh sampai delapan jam per hari. Karena seiring bertambahnya usia, waktu istirahatnya lebih panjang,” lanjutnya. Kurang tidur dapat memperburuk suasana hati dan memicu stres berkepanjangan.

Pemeriksaan Kesehatan Rutin

Langkah pencegahan lainnya adalah pemeriksaan kesehatan secara berkala, baik di puskesmas maupun posyandu lansia. Pemeriksaan rutin sangat penting untuk mendeteksi dini kondisi kesehatan fisik yang dapat memengaruhi kondisi mental. Dengan pemantauan yang baik, potensi gangguan kesehatan dapat segera ditangani sebelum menjadi lebih serius.

Kegiatan Komunitas dan Menjaga Hobi

Keterlibatan dalam kegiatan komunitas juga memberikan dampak positif bagi kesehatan mental. Lansia yang berpartisipasi dalam kegiatan seperti PKK atau kelompok masyarakat lainnya cenderung merasa lebih terhubung secara sosial. Merawat hobi, seperti berkebun, juga dapat memberikan rasa bahagia dan meningkatkan kualitas hidup.

Menjaga Pola Makan Seimbang dan Bersyukur

Pola makan seimbang turut mendukung keseimbangan hormon, termasuk hormon stres seperti kortisol. “Karena apa yang kita makan itu ternyata berpengaruh untuk hormon kortisol atau hormon stres,” kata Nurul. Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan fisik, mental, sosial, dan spiritual. Rasa syukur menjadi salah satu unsur penting dalam menjaga kesehatan mental agar lansia tetap merasa berarti dan positif.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index