Disregulasi Emosi pada Anak

Disregulasi Emosi pada Anak, Ketahui Penyebab dan Cara Mencegahnya Menurut Pakar

Disregulasi Emosi pada Anak, Ketahui Penyebab dan Cara Mencegahnya Menurut Pakar
Disregulasi Emosi pada Anak, Ketahui Penyebab dan Cara Mencegahnya Menurut Pakar

JAKARTA - Dalam proses tumbuh kembang anak, kemampuan memahami dan mengelola emosi menjadi fondasi penting yang sering kali tidak disadari oleh banyak orangtua.

Di balik perilaku marah, menangis, atau meluapkan perasaan secara berlebihan, ada kondisi yang disebut dengan disregulasi emosi. Kondisi ini bukan sekadar “anak sedang rewel”, tetapi situasi ketika mereka benar-benar tidak mampu mengatur emosi yang muncul. Fenomena ini dapat terjadi pada siapa pun, termasuk anak-anak yang masih berada dalam fase belajar memahami dunia dan perasaan mereka sendiri.

Psikolog Dr. Yasinta Astin Sokang, M.Psi., Psikolog, yang berpraktik di lembaga Ibunda.id sekaligus Asst. Prof. Program Studi Psikologi di Universitas Kristen Krida Wacana, menjelaskan secara rinci mengenai penyebab disregulasi emosi pada anak. 

Dalam pertemuan di Kantor Google Indonesia, ia menekankan bahwa akar dari permasalahan ini sering bermula dari hal yang sangat mendasar—anak tidak memahami emosinya sendiri. “Asal mulanya biasanya berawal dari anak tidak mengenal perasaannya. Dia tidak tahu perasaannya seperti apa, bagaimana mungkin dia bisa meregulasi kalau tidak mengenalinya?” ujarnya.

Kurangnya pemahaman tentang emosi membuat anak tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengekspresikan perasaan secara tepat. Ketika mereka tidak mengerti apa yang sedang dirasakan, mereka pun tak mampu menemukan cara yang sehat untuk meresponsnya. Di sinilah peran orangtua sangat menentukan.

Peran Interaksi Orangtua Terhadap Cara Anak Mengenali Emosi

Menurut Dr. Yasinta, salah satu penyebab utama disregulasi emosi pada anak adalah minimnya interaksi orangtua. Anak membutuhkan pendampingan untuk belajar membedakan antara sedih, kecewa, marah, takut, atau cemas. Dalam proses interaksi sehari-hari, orangtua dapat membantu menamai emosi yang sedang dialami oleh anak.

Misalnya ketika anak menangis, orangtua bisa memberikan validasi seperti, “Adik sedih ya.” Dari situlah anak mulai memahami bahwa gejolak perasaan yang muncul itu memiliki nama dan bentuk. Proses kecil namun konsisten seperti ini sangat membantu mereka mengenali apa yang terjadi dalam diri mereka sendiri. Tanpa bantuan tersebut, anak akan tumbuh dengan kesulitan mengidentifikasi perasaannya sehingga semakin sulit pula untuk meregulasi emosi.

Penelitian dan pengalaman praktik menunjukkan bahwa interaksi emosional yang berkualitas antara orangtua dan anak memberikan dampak signifikan bagi perkembangan kemampuan regulasi emosi. Anak menjadi lebih mampu mengelola rasa kecewa, marah, atau frustasi dengan cara yang lebih sehat.

Pengaruh Penggunaan Media Sosial Tanpa Pengawasan

Di era digital, anak-anak tidak hanya bersentuhan dengan lingkungan fisik tetapi juga dunia maya. Media sosial, meskipun mengandung informasi edukatif, dapat memberikan dampak negatif ketika digunakan tanpa pengawasan. Dr. Yasinta menjelaskan bahwa media sosial hanya menyediakan interaksi superfisial yang tidak memberikan kedalaman emosi seperti interaksi langsung.

Anak mungkin membaca seseorang menuliskan bahwa mereka sedang sedih atau marah, namun hanya memahami kata-kata tersebut tanpa melihat ekspresi, nada bicara, atau situasi yang menyertai. Hal ini membuat pemahaman emosi anak dangkal. Mereka tidak mendapatkan gambaran nyata tentang bagaimana perasaan tertentu diekspresikan secara tepat dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak terlalu banyak bergantung pada media sosial untuk mencari interaksi sementara hubungan dengan orangtua minim, kemampuan mereka mengenali emosi bisa semakin lemah. Akibatnya, ketika anak marah, ia tidak memahami bahwa di balik kemarahannya sebenarnya ada rasa kecewa, sakit hati, merasa dihakimi, atau putus asa. Karena tidak mengenali perasaan terdalam tersebut, respon yang muncul akhirnya hanya berupa luapan amarah.

Dampak Disregulasi Emosi dan Risiko Melukai Orang Lain

Akumulasi emosi yang tidak dikenali membuat anak sulit belajar cara yang tepat untuk meluapkannya. Ketika tidak bisa mengendalikan emosi, mereka cenderung melampiaskannya ke orang-orang di sekitar, termasuk mereka yang tidak bersalah. Hal ini tidak hanya menimbulkan konflik, tetapi juga membuat lingkungan sosial anak menjadi kurang kondusif.

Menurut Dr. Yasinta, tanpa kemampuan meregulasi emosi, anak akan mengalami kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi. Mereka mungkin mudah tersulut, sulit menerima masukan, atau tidak mampu mengelola stres saat menghadapi tekanan. Kondisi ini dapat terbawa hingga dewasa dan mempengaruhi hubungan pertemanan, pekerjaan, maupun hubungan romantis kelak.

Pentingnya Regulasi Emosi Sejak Dini

Membangun kemampuan regulasi emosi sejak usia dini menjadi salah satu fondasi penting dalam membentuk karakter dan kemampuan sosial anak. Dr. Yasinta menegaskan bahwa sebelum seseorang menjalin relasi dengan orang lain, kemampuan mengelola emosi adalah kunci agar tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain.

Proses ini dimulai dari keluarga. Orangtua perlu hadir dalam kehidupan anak melalui interaksi harian, percakapan kecil mengenai perasaan, mendampingi anak saat mereka frustrasi, dan memberi contoh bagaimana mengekspresikan emosi secara sehat. Ketika interaksi ini dilakukan secara rutin, anak akan mampu memahami berbagai emosi, baik positif maupun negatif, serta cara mengekspresikannya dengan bijak.

Dengan memahami penyebab disregulasi emosi serta cara mencegahnya, orangtua dapat memberikan dukungan emosional yang kuat sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih stabil, percaya diri, dan mampu menjalin hubungan yang sehat dengan lingkungan sekitarnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index