Pesona keindahan yang selama ini menghiasi Wisata Karang Numpang di Desa Cikujang, Kecamatan Gunungguruh, Kabupaten Sukabumi, kini terancam hilang. Aktivitas tambang batu kars yang dikelola oleh PT Mineral Bumi Harmoni (MBH) telah merusak kawasan perbukitan ini, membuat warga setempat dan pecinta alam menyuarakan kekecewaannya.
Karang Numpang, yang sebelumnya dikenal dengan panorama alam yang indah dan udara yang segar, menjadi tempat favorit untuk camping dan kegiatan rekreasi outdoor lainnya. Namun, sejak PT MBH memulai eksplorasi dan penambangan, keindahan dan fungsi kawasan tersebut telah mengalami perubahan signifikan.
Protes Warga dan Pecinta Alam
Tidak tinggal diam, warga sekitar dan komunitas pecinta alam telah berkumpul untuk melakukan protes terhadap aktivitas tambang yang dinilai telah merusak Karang Numpang. Atuy, warga Kampung Legoknyenang, menyatakan kepada Radar Sukabumi bahwa kawasan ini dulunya merupakan ikon wisata lokal yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan dari luar daerah. “Dulu banyak yang datang ke sini untuk menikmati alam, camping, dan berkumpul dengan keluarga. Sekarang semua berubah setelah tambang ini beroperasi,” ujar Atuy.
Selain dampak visual, warga juga mengkhawatirkan risiko kerusakan ekosistem, polusi lingkungan, dan berkurangnya cadangan air yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas penambangan ini. Terlebih, lokasi tambang berdekatan dengan pemukiman warga yang rentan terhadap dampak negatif tersebut.
Kekecewaan dari Kalangan Pecinta Alam
Kalangan pecinta alam tidak luput dari kekecewaan terhadap transformasi yang menimpa Karang Numpang. Bagi mereka, lokasi tersebut sebelumnya tidak hanya sebagai tempat berkemah, tetapi juga merupakan simbol kesadaran lingkungan dan apresiasi terhadap keindahan alam Sukabumi. “Informasi tentang Karang Numpang adalah kabar buruk bagi mereka yang suka camping. Saat ini akses ke puncak sudah tidak bisa ditempuh karena jalurnya digunakan untuk tambang. Saya pribadi, sebagai penikmat puncak bukit Karang Numpang, sangat menyayangkan hal ini,” ungkap seorang pecinta alam.
Dia menggambarkan Karang Numpang sebagai salah satu lokasi camping dengan panorama 360 derajat yang sangat menakjubkan, mencakup pemandangan Gunung Gede, Cianjur, Lembursitu Kota Sukabumi, hingga Gunung Salak. Namun, semua keindahan itu kini hanya tinggal kenangan akibat aktivitas penambangan yang terus berjalan.
Desakan Warga untuk Pemulihan Kawasan
Warga dan komunitas pecinta alam berharap agar pemerintah serta pihak-pihak terkait segera mengambil tindakan dan meninjau ulang izin operasional tambang tersebut. Mereka berharap Karang Numpang bisa dikembalikan sebagai ruang publik yang mendukung aktivitas rekreasi dan pelestarian lingkungan. “Karang Numpang, yang dulunya menjadi tempat pelarian dari hiruk-pikuk perkotaan, kini hanya tinggal kenangan bagi kami yang pernah menikmati keindahannya,” kata Atuy dengan nada prihatin.
Kekecewaan BPD Desa Cikujang
Ketidakpuasan tidak hanya datang dari warga, tetapi juga dari Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Cikujang, Asep Mubarok, yang merasa tidak dilibatkan dalam proses perizinan dan pembahasan mengenai tambang oleh PT MBH. “Sebagai anggota BPD di pemerintahan Desa Cikujang, sejak awal PT MBH mulai beroperasi, saya sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahui detail persoalan tambang tersebut. Padahal, lokasi rumah saya itu berada di wilayah terdampak aktivitas tambang PT MBH,” kata Asep.
Asep juga menyoroti tentang keluhan akibat penurunan daya tarik wisata kawasan tersebut yang sebelumnya ramai dikunjungi wisatawan dan pencinta alam. “Dulu, tempat ini sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang yang suka berkemah. Sekarang, kondisinya sangat berbeda. Hal ini tentu sangat disayangkan,” tambahnya.
Polemik Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)
Asep turut mempertanyakan keberadaan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT MBH, yang seharusnya memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar, terutama yang terdampak oleh aktivitas tambang. Namun hingga saat ini, belum ada informasi yang jelas dan transparan mengenai hal itu. “Untuk CSR, kami tidak tahu apakah ada atau tidak. Begitu juga dengan kontribusi untuk Pendapatan Asli Desa (PAD). Hingga saat ini, pihak BPD tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan tersebut,” tegas Asep.
Dia berharap agar pemerintah desa dan pihak terkait dapat memberikan penjelasan secara transparan dan mengambil langkah konkret untuk mengatasi polemik ini. “Kami berharap pemerintah desa dan pihak terkait memberikan penjelasan yang lebih transparan dan mengambil langkah yang lebih baik untuk mengatasi persoalan ini,” pungkasnya.
Kasus karang Numpang menjadi salah satu contoh nyata bagaimana aktivitas eksploitasi sumber daya alam dapat berdampak pada keindahan alam dan kesejahteraan masyarakat lokal. Diharapkan, langkah-langkah segera dapat diambil untuk menanggapi protes warga dan komunitas pecinta alam, serta mengembalikan Karang Numpang sebagai salah satu destinasi wisata alam unggulan di Sukabumi.