JAKARTA - Harga minyak dunia kembali memanas, mencapai level tertinggi dalam sepekan terakhir, seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap ketidakpastian perdamaian di Ukraina serta lonjakan konsumsi energi di Amerika Serikat.
Tren kenaikan ini juga didorong oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, yang menimbulkan optimisme pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak lebih tinggi di pasar global.
Berdasarkan data Reuters pada Kamis, 9 Oktober 2025, harga minyak berjangka Brent naik US$0,80 atau 1,2% menjadi US$66,25 per barel. Sementara itu, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) AS menguat US$0,82 atau 1,3% ke level US$62,55 per barel. Penutupan tersebut menandai level tertinggi sejak 30 September untuk Brent dan 29 September untuk WTI.
Kondisi geopolitik menjadi faktor utama penguat harga. Seorang diplomat senior Rusia menyebut bahwa dorongan menuju kesepakatan damai dengan Ukraina sebagian besar telah habis.
Para analis menilai bahwa tercapainya kesepakatan damai akan membuka peluang Rusia menambah pasokan minyaknya ke pasar global. Hal ini menjadi perhatian karena Rusia merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2024, dan meski berada di bawah sanksi, Rusia terus meningkatkan produksinya. Menurut Wakil Perdana Menteri Alexander Novak, Rusia bulan lalu nyaris memenuhi kuota produksi OPEC+, dikutip dari Interfax.
OPEC+ sendiri merupakan aliansi Organisasi Negara Pengekspor Minyak bersama sejumlah negara mitra, termasuk Rusia. Namun, sektor energi Rusia tengah menghadapi tekanan akibat serangan drone Ukraina yang menargetkan kilang minyak, sehingga menciptakan ketidakpastian pasokan.
Selain faktor geopolitik, pasar juga mendapat dukungan dari ekspektasi pemangkasan suku bunga AS. Selama penutupan sebagian pemerintahan AS (government shutdown), investor mengandalkan risalah rapat The Fed 16–17 September yang menunjukkan bahwa sebagian pejabat menilai risiko pasar tenaga kerja cukup besar untuk mendorong penurunan suku bunga, meskipun inflasi tetap menjadi perhatian utama.
Pasar kini memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan 28–29 Oktober mendatang, menurut CME Group’s FedWatch Tool. Penurunan suku bunga diproyeksi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus permintaan energi.
Dukungan lain datang dari data domestik AS. Meskipun laporan mingguan menunjukkan lonjakan stok minyak mentah di atas perkiraan, perhatian pasar lebih tertuju pada konsumsi minyak yang meningkat signifikan.
Administrasi Informasi Energi (EIA) AS mencatat, perusahaan energi menambah persediaan minyak sebesar 3,7 juta barel untuk pekan yang berakhir 3 Oktober, lebih tinggi dari perkiraan analis 1,9 juta barel maupun estimasi API 2,8 juta barel. Namun, total produk minyak bumi yang disalurkan—sebagai indikator konsumsi—melonjak menjadi 21,99 juta barel per hari, level tertinggi sejak Desember 2022.
“Data permintaan cukup kuat dan itu akan menjaga pasar tetap mendapat dukungan,” ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group. Lonjakan konsumsi di AS menjadi katalis yang menahan harga minyak tetap tinggi meski ada penambahan persediaan.
Pergerakan harga minyak juga dipengaruhi keputusan OPEC+ pekan lalu. Aliansi ini menyetujui kenaikan target produksi sebesar 137.000 barel per hari untuk November, lebih rendah dari ekspektasi pasar. Keputusan tersebut dilakukan di tengah kekhawatiran potensi kelebihan pasokan global, sehingga tetap memberi tekanan ke sisi penawaran dan mendukung harga.
Secara keseluruhan, penguatan harga minyak global kali ini merupakan kombinasi faktor geopolitik dan ekonomi. Konflik Ukraina tetap menjadi penggerak utama ketidakpastian pasokan, sementara permintaan kuat dari AS memperkuat sentimen bullish. Investor kini menanti risalah lebih lengkap dari The Fed dan perkembangan situasi geopolitik untuk memprediksi arah pasar selanjutnya.
Sementara itu, analis menekankan bahwa meski harga minyak naik, risiko koreksi tetap ada. Lonjakan persediaan atau tercapainya kesepakatan damai di Ukraina dapat menurunkan ketegangan pasokan dan memberi tekanan terhadap harga. Namun, dalam jangka pendek hingga menengah, kombinasi ketidakpastian geopolitik dan konsumsi energi yang tinggi diperkirakan akan terus menopang harga minyak pada level saat ini atau lebih tinggi.
Dengan kondisi tersebut, para pelaku pasar disarankan tetap waspada terhadap dinamika pasokan dan permintaan, serta pengumuman kebijakan moneter global yang berpotensi menjadi pemicu volatilitas. Reli harga minyak yang tercatat naik sekitar 3% sepanjang pekan ini menunjukkan bahwa pasar masih berada dalam fase optimisme terhadap pertumbuhan dan permintaan energi, sekaligus menegaskan sensitivitas harga terhadap faktor geopolitik utama dunia.