JAKARTA - Cirebon, seperti tahun-tahun sebelumnya, kembali menyambut Ramadan dengan tradisi yang unik dan menegangkan. Di bawah langit malam Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, cahaya oranye dari bara api menerangi lapangan, diiringi gemuruh dentuman petasan yang memecah kesunyian. Ribuan pasang mata berpaku pada atraksi yang terbilang ekstrem ini, di mana para santri dari Pondok Pesantren Ciwaringin memamerkan keberanian mereka, memainkan sepak bola dengan bola yang terbuat dari api.
Faizul Kurnain, seorang santri muda, menjadi salah satu bintang dalam pertunjukan itu. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, ia menggiring bola menyala dengan lincah, tanpa ragu melemparkannya kepada teman-teman satu timnya. Tidak sedikit pun ekspresi kesakitan tergambar di wajahnya atau kawan-kawannya. "Alhamdulillah, tidak terasa panas sama sekali," ucap Faizul sambil tersenyum lebar. Bagi Faizul, kegiatan ini tidak sekadar permainan biasa tetapi merupakan manifestasi dari keyakinan spiritual yang mendalam. "Mungkin ini berkat doa-doa dari kiai yang telah memberikan wiridan, sehingga kami lebih tenang dan bisa menghadapi semuanya," jelasnya.
Atraksi Sarat Makna Sejarah dan Spiritualitas
Tradisi sepak bola api dan mandi petasan di Pondok Pesantren Ciwaringin bukanlah sembarang pertunjukan ekstrem. Aksi ini telah menjadi warisan budaya yang erat kaitannya dengan sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan, terutama di masa kolonial Belanda. KH Marzuki Ahal, pembina sepak bola api di pesantren tersebut, menjelaskan, "Kegiatan ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari warisan perjuangan melawan penjajah. Dulu, para pejuang menggunakan batu dan api sebelum diterjunkan ke medan perang."
Atraksi ini, kata KH Marzuki, juga menekankan arti penting dari keberanian dan semangat juang. "Permainan ini sudah ada sejak zaman Belanda, terutama di lingkungan pesantren," tambahnya. Sehingga, setiap gerakan yang dilakukan oleh para santri tidak hanya menunjukkan keterampilan tetapi juga menyiratkan pesan yang kuat tentang keteguhan hati dan semangat juang.
Persiapan Panjang dan Ritual Khusus
Tidak sembarang orang bisa menjadi bagian dari atraksi yang penuh risiko ini. Para santri harus menjalani persiapan yang panjang dan ritual khusus sebelum dapat tampil di hadapan publik. Mereka harus menjalani puasa Tarkhuruh selama 21 hari, sebuah ritual yang cukup menantang secara fisik dan mental. "Saat sahur dan berbuka, mereka tidak boleh mengonsumsi makanan yang memiliki ruh, seperti daging atau ikan. Ini adalah latihan spiritual agar mereka lebih siap menghadapi tantangan," jelas KH Marzuki lebih lanjut.
Selain ritual puasa, para santri juga menjalani latihan fisik dan mental yang intens, bertujuan untuk mengendalikan rasa takut dan nyeri yang mungkin muncul akibat kontak langsung dengan api dan ledakan petasan. Doa dan wiridan menjadi senjata utama mereka dalam menghadapi panasnya bara api dan dentuman keras dari petasan. Setiap langkah dan gerakan harus dipandu dengan konsentrasi yang tinggi dan keyakinan spiritual yang mendalam.
Magnet bagi Warga dan Simbol Semangat Ramadan
Atraksi sepak bola api dan mandi petasan ini tidak hanya menjadi tontonan menegangkan bagi warga sekitar, tetapi juga simbol yang menginspirasi. Setiap tahunnya, banyak warga yang datang untuk menyaksikan pertunjukan yang memacu adrenalin ini. Mereka tidak hanya ingin melihat aksi nekat para santri, tetapi juga ingin merasakan semangat dan keberanian yang dipancarkan dalam setiap permainan.
Bagi masyarakat Ciwaringin, api bukan sekadar elemen yang membakar. Melainkan ia adalah simbol keteguhan, keberanian, dan spiritualitas. "Ini adalah bagian dari budaya kami dan cara kami menyambut bulan suci Ramadan," tutur salah satu warga setempat. Dan demikianlah, ketika bara api menerangi malam dan dentuman petasan menggema, semangat Ramadan semakin terasa hangat di tengah kegelapan.
Melalui atraksi ini, Pondok Pesantren Ciwaringin tidak hanya melestarikan warisan budaya yang kental dengan nilai-nilai sejarah, tetapi juga menanamkan rasa kebersamaan dan kekuatan spiritual kepada generasi muda. Semangat ini diharapkan dapat menular dalam menyongsong bulan penuh berkah, menjadikan Ramadan waktu untuk merefleksikan keberanian dan keteguhan iman.